AGROINDUSTRI KEDELAI

>> Selasa, 02 Juni 2009

Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Selain itu, kedelai juga merupakan tanaman palawija yang kaya akan protein yang memiliki arti penting dalam industri pangan dan pakan. Kedelai berperan sebagai sumber protein nabati yang sangat penting dalam rangka peningkatan gizi masyarakat karena aman bagi kesehatan dan murah harganya. Sama halnya dengan dua tanaman pangan sebelumnya, berbagai alternatif potensi untuk meningkatkan nilai tambah kedelai termasuk produk sampingannya dapat dilakukan melelui pemanfaatan teknologi pasca panen. Kedelai dapat diolah untuk menghasilkan berbagai produk yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia, baik sebagai produk pangan, farmasi (obat-obatan), aplikasi dalam bidang teknik (industri) dan sebagai pakan (Gambar 1). Bahkan bungkil kedelai salah satu produk samping kedelai yang pemanfaatannya sebagai bahan baku pembuatan pakan hampir 100% masih diimpor.
Prospek pengembangan kedelai di Indonesia terutama untuk mengisi pasar domestik masih sangat terbuka luas, mengingat produksi kedelai dalam negeri masih jauh dibawah jumlah permintaan domestik. Pada tahun 1990, produksi domestik mampu mengisi pasar domestik sekitar 83,32 persen, dan sisanya 26,68 persen didatangkan dari impor. Kemampuan produksi dalam negeri untuk mengisi pasar domestik semakin menurun, setelah tahun 2000 lebih dari 50 persen kebutuhan domestik dipenuhi dari impor, dan bahkan pada tahun 2004 sudah mencapai 65 persen. Peluang pasar domestik diperkirkan terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan kedelai dan produk turunannya. Walaupun produktivitasnya masih rendah, pada tingkat harga yang relatif stabil (Rp 3.000/kg) secara finansial usahatani kedelai cukup menguntungkan, yaitu Rp 2,05 juta/ ha pada tingkat B/C 2,14. Namun demikian, usaha ini belum mampu bersaing dalam upaya meningkatkan substitusi kedelai impor. Melalui perbaikan produktivitas merupakan salah satu cara untuk meningkatkan daya saing komoditas ini.
Industri berbasis kedelai yang telah berkembang adalah tempe, tauco, kecap, tahu dan susu. Namun demikian produksi kedelai Indonesia baru mampu memenuhi sekitar 35 persen, dan sebanyak 55 persen masih diimpor. Sehingga program pengembangan kedelai dalam jangka pendek adalah meningkat produksi dalam negeri dalam upaya mengurangi impor untuk memenuhi kebutuhan dari industri yang telah berkembang selama ini. Baik dalam jangka menengah maupun panjang, program pengembangan kedelai tetap diarahkan dalam meningkatkan substitusi impor untuk memenuhi industri minyak goreng, mentega putih dan margarin yang diharapkan mulai berkembang dalam program jangka menengah dan industri obat-obatan dan kecantikan yang berbasis kedelai yang diharapkan tumbuh dalam program jangka panjang.
1.2 Penerapan Aspek Manajerial Agroindustri Kedelai
1.2.1 Peluang Bisnis
Kebutuhan kedelai di dalam negeri terus meningkat seiring pesatnya perkembangan industri pangan dan pakan olahan berbahan baku kedelai. Sebagai bahan pangan, kedelai mengandung protein nabati yang sangat tinggi nilai gizinya, mengandung zat radikal bebas yang tinggi sehingga sangat bermanfaat bagi kesehatan dan sangat aman untuk dikonsumsi. Sekitar 80% penduduk Indonesia (terutama di Jawa) mengkonsumsi makanan olahan kedelai (fermentasi dan non fermentasi), seperti: susu kedelai, tempe, tahu, kecap, tauco, abon kedelai, daging tiruan/meat analog (untuk vegetarian), minyak dan bungkil kedelai, dan berbagai bentuk makanan ringan/snack (keripik, rempeyek, dll). Berbagai produk kosmetik dan kesehatan mencantumkan kedelai dalam komposisi bahan bakunya. Berkembangnya industri peternakan dan pakan ternak yang menggunakan bahan baku bungkil kedelai sebagai sumber protein penting dalam komposisi pakan unggas setelah jagung (Tangendjaja, et al, 2003). Selama dua dekade terakhir, trend permintaan kedelai mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Produksi kedelai domestik hanya sekitar 0,71 juta ton sedang total kebutuhan mencapai 2,02 juta ton (tahun 2004), sehingga dipenuhi dengan mengimpor 1,13 juta ton (Damardjati, et al, 2005). Relatif rendahnya produksi kedelai domestik diprediksi akibat merosotnya harga riil kedelai di tingkat produsen. Penurunan harga riil diduga karena kebijakan liberalisasi impor kedelai dengan tarif 0% yang menyebabkan harga kedelai impor lebih murah dibanding harga kedelai lokal.
Dari segi perolehan pendapatan bersih sekitar Rp.2,1 juta/ha per musim tanam, sebenarnya prospek usahatani kedelai relatif baik. Peluang pengembangan agribisnis kedelai domestik juga masih sangat terbuka mengingat ketersediaan sumberdaya lahan, kesesuaian ekosistem lahan pertanian di Indonesia, dan tingginya market demand bagi pengusahaan kedelai. Untuk peningkatan produksi dan produktivitas kedelai, diperlukan strategi kebijakan melalui: perluasan areal tanam, peningkatan efisiensi produksi dan kualitas produk, pengembangan infrastruktur, serta penguatan dan pemberdayaan kelembagaan pendukungnya terkait petani di perdesaan termasuk dukungan stabilisasi pemasaran dan tingkat harga yang menguntungkan ebagai insentif dan keberpihakan bagi petani produsen).
1.2.2 Strategi Bisnis
Dalam merencanakan agribisnis kedelai, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah ketersediaan bahan baku kedelai itu sendiri. Bila kita akan memulai dari proses budidaya untuk memperoleh bahan baku , hal- hal yang harus diketahui adalah :

1. Agronomi
Survai Lahan
Lingkungan
Persiapan Lahan
Pengolahan Lahan
Kandungan Hara
pH Tanah
Curah Hujan dan Irigasi
Cahaya Matahari
Penanaman
Pemupukan
Pengendalian Hama
Pengendalian Penyakit
Penyiangan
Panen Pascapanen
2.Input Budidaya :
Benih
Pupuk
Insektisida
Pestisida
Fungisida
Herbisida
Organik
Tenaga Kerja
3. Pemasaran
4. Pengolahan Hasil
5. Mekanisasi Pertanian
6. Keuangan
7. Kemitraan

Untuk pengolahan dan persiapan lahan usahatani kedelai umumnya dapat dilakukan dengan sistem borongan atau mekanisasi (traktor) dengan biaya sekitar Rp.700.000 hingga Rp.900.000/ha (tergantung tingkat kesulitan lahan/kondisi fisik dan letak lahan usahatani). Sedang biaya penanaman bisa berbeda antar petani, yang umumnya menggunakan tenaga kerja wanita dengan biaya borongan sekitar Rp.200.000 hingga Rp.350.000/ha. Belum termasuk berbagai biaya lain (input saprodi, pemeliharaan, panen dan pasca panen) yang dikeluarkan sebelum mengutip hasil panen, sehingga dapat diprediksi besarnya biaya (modal) yang dibutuhkan untuk memulai usahatani kedelai tersebut. Selanjutnya kita dapat menentukan sendiri pengolahan pasca panen kedelai untuk meningkatkan pendapatan yang lebih baik daripada produk tanpa diolah. Pemanfaatan teknologi industri penting untuk diterapkan disini. Produk – produk olahan pasca panen kedelai, dapat dilihat pada uraian sebelumnya.

Untuk pemasaran, kita dapat memanfaatkan bentuk kemitraan dengan para pedagang, ataupun menjual sendiri langsung. Fenomena pasar komoditas kedelai nasional sangat ditentukan oleh kinerja produksi domestik dan kegiatan impor. Kinerja produksi yang dimaksud terutama ditunjukkan oleh kemampuan produksi pada sentra-sentra produksi nasional, sementara jumlah impor sangat ditentukan oleh tingkat permintaan domestik baik untuk berbagai kebutuhan baik konsumsi, benih dan industri.

Data Departemen pertanian, Direktorat Jenderal Bina Bina Usahatani dan Pengolahan Hasil Pertanian bahwa sampai tahun 2001 secara nasional menunjukkan adanya disparitas neraca perdagangan kedelai dan hasil ikutan/olahannya. Tampak bahwa jumlah dan macam bentuk/produk ikutan/olahan kedelai yang diimpor lebih banyak dibanding ekspor yang hanya terbatas tepung kedelai. Antara tahun 1990-2001, laju impor masing-masing 6,8%/thn untuk kedelai kuning, 15,5% untuk kedelai hitam dan 25,1% untuk bungkil kedelai .
Tingginya impor merupakan penggambaran tentang ketidakcukupan produksi dalam negeri untuk mengimbangi permintaan yang terus meningkat. Permintaan dimaksud untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan industri pengolahan bahan makanan dalam negeri (industri tahu/tempe), juga industri pakan ternak yang memanfaatkan kedelai sebagai bahan baku (bungkil kedelai).

0 komentar: